Selasa, 27 Januari 2009

PILIH-PILIH SEKOLAH ANAK


Sebagai seorang ibu, wajar jika kita ingin memberikan yang terbaik untuk sang buah hati. Tapi kadangkala keinginan dan harapan harus juga sebanding dengan kebutuhan dan kemampuan. Jangan sampai hanya karena memenuhi ambisi sang ibu, anak menjadi korban, karena terpaksa/dipaksa melakukan sesuatu yang telah dipilih orangtuanya.

Waktu Haura berusia 2 tahun lebih, dia sudah ingin sekali sekolah. Tiap kali melewati TK dekat rumah, atau sedang melintas melewati TK yang lain, dia akan berucap, ”Itu sekolahku ya mi…”. Sampai-sampai saya tidak tega dan berjanji padanya “Iya nak, nanti kalo Haura sudah 3 tahun ya baru sekolah.” Maka ketika Haura sudah berusia 3 tahun, mulailah ia sekolah playgroup di dekat rumah. Selain Haura sendiri yang memiliki keinginan untuk sekolah, saya pikir hal ini juga baik untuknya belajar bersosialisasi dg teman2 sebayanya.

Saya pribadi memang tidak ingin membebaninya dg sekolah, saya ingin putri saya bahagia tanpa banyak tuntutan dari kami orangtuanya, saya ingin dia menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri. Banyak ibu yg ingin menyekolahkan anaknya agar cepat bisa membaca dan menulis di usia dini, padahal tidak semua anak bisa begitu. Setiap anak punya kecerdasan mereka masing2. Bisa jadi kakak beradik pun tidak sama kecerdasannya, kalo sang kakak bisa membaca di usia 3 thn, dan si adik di usia yg sama tidak terlalu ‘ngeh’ dg huruf2 alphabet, bukan berarti sang adik lebih bodoh dari sang kakak. Pdhl di sisi lain si adik lebih peka pd orla, lebih mandiri dlm mengurus dirinya, dst. Kita lebih sering melihat orang dari kecerdasan intelektualnya, daripada hal positif lainnya.

Berkaca dari pengalaman pribadi, sejak kecil saya selalu dituntut menjadi juara kelas, walaupun hal itu positif sehingga membuat saya terpacu untuk selalu jadi yang terbaik, tapi ada juga suatu fase dimana saya merasa tertekan saat saya gagal memenuhi harapan ortu. Memang suatu yang wajar, jika ortu bangga dg prestasi anak secara akademik, tapi sebenarnya kecerdasan itu tidak melulu didapat dari apa yang tertulis di dalam rapor. Ada kecerdasan2 lain yg juga patut kita apresiasi/hargai. Kata para ahli nih, ada 10 ruang kecerdasan ataw bhs kerennya Multiple Intelligence, yaitu: Kecerdasan Berbahasa, Kecerdasan Matematis, Kecerdasan Sebab-akibat (Logika), Kecerdasan Spasial-visual (kecerdasan yg berhubungan dg bentuk, ruang dan warna), Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Interpersonal (pandai membuka dan memelihara hubungan dg orla), Kecerdasan Intrapersonal (peka thd dirinya, sng mengintrospeksi dan merenung), Kecerdasan Spritual, dan terakhir, Kecerdasan Finansial (kecerdasan dlm mengelola keuangan).

Lho, apa hubungannya ya multiple intelligence itu ama pilih sekolah? Ada juga lah, hehehe... sedikit sok tahu nieh. Menurut saya, kalau sejak dini sudah kelihatan apa kecendrungan sang anak, tentu jadi memudahkan ortu memilihkan sekolah utk anak yg selaras dg kebutuhan dan kemampuannya. Walah, makin ngejelimet aja kata2nya, hahaha…
Orangtua biasanya lebih mengenal anaknya shg kurang lebih tahu apa kelebihan, kesukaan dan kecendrungan anak. Tapi kalau anak kita masih belum terlihat jelas apa kecendrungannya, apalagi di usia 2-3 tahun, coba lihat sesuatu yg menonjol dari anak (bawaan lahir misalnya), ada anak yg mudah hafal lagu walau baru beberapa kali mendengar, ada anak yang cepat bisa jika diajari mengenal bentuk sehingga di usia dini sudah bisa membaca, ada anak yang pandai berbaur, sejak bayi tidak rewel dan ramah pd orla walaupun baru dikenalnya, dst. Ya, susah-susah gampang deh…

Dulu saat saya memasukkan Haura ke playgroup, saya hanya melihat secara fisik ruang kelasnya baik, tercukupi untuk kebutuhan gerak anak, jumlah murid juga cukup (tidak terlalu banyak), alat peraga dan permainannya cukup baik, biaya sekolahnya juga terjangkau serta lokasinya dekat rumah. Tapi setelah sekolah berjalan, dari yang awal-awal sekolah sangat bersemangat, lambat laun (beberapa bulan kemudian), Haura terlihat bosan untuk sekolah. Maka saya mulai mengamati lagi bgmn Haura di kelas, ada beberapa hari, dlm satu hari penuh saya mengamati dari luar kelas bagaimana interaksi Haura dg temannya, jg interaksi guru thd murid2nya. Ternyata, waktu memilih sekolah, saya kurang jeli melihat apa-apa saja nantinya aktivitas dalam kelas, apa saja mainan atau alat peraga yg disediakan, dan bgmn kecakapan dan kreativitas gurunya di kelas.

Sebenarnya Haura mudah mengikuti pelajaran di sekolah, dia juga mandiri, tapi Haura termasuk anak yg moody dan mudah bosan, apalagi jika pelajaran hari itu kurang menarik baginya. Misalnya ketika apa yg sedang diajarkan gurunya, dia sudah bisa melakukannya. Kalau sudah begitu, Haura menjadi pendiam, tidak aktif/ malas berpartisipasi di kelas dan mencari kesibukan lain seperti bercanda dg teman ataw sibuk main sendiri dg imajinasinya. Makanya untuk anak balita, kecakapan dan kreativitas guru turut mendukung suasana belajar anak. Guru jeli saat melihat anak2 bosan/ tidak tertarik dg pelajaran saat itu, ia pandai membangun suasana kelas shg anak2 kembali enjoy di kelas dan berpartisipasi. Guru juga komunikatif shg anak merasa dia diperhatikan keinginannya, bukan dipaksa/terpaksa melakukan tugas karena ancaman. Maka pelajaran kedua yg saya dapatkan adalah carilah sekolah dimana para guru terbuka terhadap ortu (ada komunikasi terjalin, ada pertemuan2 rutin di luar jam sekolah) shg gap antara guru dan ortu bisa diminimalisir, ortu dan guru bisa bekerjasama utk kemajuan anak.

Masalah pendidikan anak memang tidak bisa sepenuhnya kita berikan di sekolah, karena pendidikan anak yang utama adalah dari orangtuanya. Itulah mengapa harus ada keselarasan dalam mendidik baik di rumah dan di sekolah, ada kerjasama dan komunikasi yg baik antara guru dan orangtua. Sbg contoh, ketika anak di sekolah diajarkan tutur kata yg baik, tapi di rumah dia biasa mendengar dan mendapat kata2 yg tidak baik, jangan salahkan guru jika anak kita sering ditegur. Atau ingin anak sholeh, di sekolah anak diajarkan sholat dan mengaji tapi di rumah, ortunya jarang sholat dan tidak pernah mengaji, tentu tanpa diminta anak akan menjadi sama seperti ortunya. Menjadi orangtua yg baik memang butuh perjuangan. Berjuang dan terus belajar untuk memperbaiki diri. Seperti apa anak kita kelak, tergantung contoh nyata ortunya.

Tidak ada komentar: