Selasa, 27 Januari 2009

PILIH-PILIH SEKOLAH ANAK


Sebagai seorang ibu, wajar jika kita ingin memberikan yang terbaik untuk sang buah hati. Tapi kadangkala keinginan dan harapan harus juga sebanding dengan kebutuhan dan kemampuan. Jangan sampai hanya karena memenuhi ambisi sang ibu, anak menjadi korban, karena terpaksa/dipaksa melakukan sesuatu yang telah dipilih orangtuanya.

Waktu Haura berusia 2 tahun lebih, dia sudah ingin sekali sekolah. Tiap kali melewati TK dekat rumah, atau sedang melintas melewati TK yang lain, dia akan berucap, ”Itu sekolahku ya mi…”. Sampai-sampai saya tidak tega dan berjanji padanya “Iya nak, nanti kalo Haura sudah 3 tahun ya baru sekolah.” Maka ketika Haura sudah berusia 3 tahun, mulailah ia sekolah playgroup di dekat rumah. Selain Haura sendiri yang memiliki keinginan untuk sekolah, saya pikir hal ini juga baik untuknya belajar bersosialisasi dg teman2 sebayanya.

Saya pribadi memang tidak ingin membebaninya dg sekolah, saya ingin putri saya bahagia tanpa banyak tuntutan dari kami orangtuanya, saya ingin dia menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri. Banyak ibu yg ingin menyekolahkan anaknya agar cepat bisa membaca dan menulis di usia dini, padahal tidak semua anak bisa begitu. Setiap anak punya kecerdasan mereka masing2. Bisa jadi kakak beradik pun tidak sama kecerdasannya, kalo sang kakak bisa membaca di usia 3 thn, dan si adik di usia yg sama tidak terlalu ‘ngeh’ dg huruf2 alphabet, bukan berarti sang adik lebih bodoh dari sang kakak. Pdhl di sisi lain si adik lebih peka pd orla, lebih mandiri dlm mengurus dirinya, dst. Kita lebih sering melihat orang dari kecerdasan intelektualnya, daripada hal positif lainnya.

Berkaca dari pengalaman pribadi, sejak kecil saya selalu dituntut menjadi juara kelas, walaupun hal itu positif sehingga membuat saya terpacu untuk selalu jadi yang terbaik, tapi ada juga suatu fase dimana saya merasa tertekan saat saya gagal memenuhi harapan ortu. Memang suatu yang wajar, jika ortu bangga dg prestasi anak secara akademik, tapi sebenarnya kecerdasan itu tidak melulu didapat dari apa yang tertulis di dalam rapor. Ada kecerdasan2 lain yg juga patut kita apresiasi/hargai. Kata para ahli nih, ada 10 ruang kecerdasan ataw bhs kerennya Multiple Intelligence, yaitu: Kecerdasan Berbahasa, Kecerdasan Matematis, Kecerdasan Sebab-akibat (Logika), Kecerdasan Spasial-visual (kecerdasan yg berhubungan dg bentuk, ruang dan warna), Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Interpersonal (pandai membuka dan memelihara hubungan dg orla), Kecerdasan Intrapersonal (peka thd dirinya, sng mengintrospeksi dan merenung), Kecerdasan Spritual, dan terakhir, Kecerdasan Finansial (kecerdasan dlm mengelola keuangan).

Lho, apa hubungannya ya multiple intelligence itu ama pilih sekolah? Ada juga lah, hehehe... sedikit sok tahu nieh. Menurut saya, kalau sejak dini sudah kelihatan apa kecendrungan sang anak, tentu jadi memudahkan ortu memilihkan sekolah utk anak yg selaras dg kebutuhan dan kemampuannya. Walah, makin ngejelimet aja kata2nya, hahaha…
Orangtua biasanya lebih mengenal anaknya shg kurang lebih tahu apa kelebihan, kesukaan dan kecendrungan anak. Tapi kalau anak kita masih belum terlihat jelas apa kecendrungannya, apalagi di usia 2-3 tahun, coba lihat sesuatu yg menonjol dari anak (bawaan lahir misalnya), ada anak yg mudah hafal lagu walau baru beberapa kali mendengar, ada anak yang cepat bisa jika diajari mengenal bentuk sehingga di usia dini sudah bisa membaca, ada anak yang pandai berbaur, sejak bayi tidak rewel dan ramah pd orla walaupun baru dikenalnya, dst. Ya, susah-susah gampang deh…

Dulu saat saya memasukkan Haura ke playgroup, saya hanya melihat secara fisik ruang kelasnya baik, tercukupi untuk kebutuhan gerak anak, jumlah murid juga cukup (tidak terlalu banyak), alat peraga dan permainannya cukup baik, biaya sekolahnya juga terjangkau serta lokasinya dekat rumah. Tapi setelah sekolah berjalan, dari yang awal-awal sekolah sangat bersemangat, lambat laun (beberapa bulan kemudian), Haura terlihat bosan untuk sekolah. Maka saya mulai mengamati lagi bgmn Haura di kelas, ada beberapa hari, dlm satu hari penuh saya mengamati dari luar kelas bagaimana interaksi Haura dg temannya, jg interaksi guru thd murid2nya. Ternyata, waktu memilih sekolah, saya kurang jeli melihat apa-apa saja nantinya aktivitas dalam kelas, apa saja mainan atau alat peraga yg disediakan, dan bgmn kecakapan dan kreativitas gurunya di kelas.

Sebenarnya Haura mudah mengikuti pelajaran di sekolah, dia juga mandiri, tapi Haura termasuk anak yg moody dan mudah bosan, apalagi jika pelajaran hari itu kurang menarik baginya. Misalnya ketika apa yg sedang diajarkan gurunya, dia sudah bisa melakukannya. Kalau sudah begitu, Haura menjadi pendiam, tidak aktif/ malas berpartisipasi di kelas dan mencari kesibukan lain seperti bercanda dg teman ataw sibuk main sendiri dg imajinasinya. Makanya untuk anak balita, kecakapan dan kreativitas guru turut mendukung suasana belajar anak. Guru jeli saat melihat anak2 bosan/ tidak tertarik dg pelajaran saat itu, ia pandai membangun suasana kelas shg anak2 kembali enjoy di kelas dan berpartisipasi. Guru juga komunikatif shg anak merasa dia diperhatikan keinginannya, bukan dipaksa/terpaksa melakukan tugas karena ancaman. Maka pelajaran kedua yg saya dapatkan adalah carilah sekolah dimana para guru terbuka terhadap ortu (ada komunikasi terjalin, ada pertemuan2 rutin di luar jam sekolah) shg gap antara guru dan ortu bisa diminimalisir, ortu dan guru bisa bekerjasama utk kemajuan anak.

Masalah pendidikan anak memang tidak bisa sepenuhnya kita berikan di sekolah, karena pendidikan anak yang utama adalah dari orangtuanya. Itulah mengapa harus ada keselarasan dalam mendidik baik di rumah dan di sekolah, ada kerjasama dan komunikasi yg baik antara guru dan orangtua. Sbg contoh, ketika anak di sekolah diajarkan tutur kata yg baik, tapi di rumah dia biasa mendengar dan mendapat kata2 yg tidak baik, jangan salahkan guru jika anak kita sering ditegur. Atau ingin anak sholeh, di sekolah anak diajarkan sholat dan mengaji tapi di rumah, ortunya jarang sholat dan tidak pernah mengaji, tentu tanpa diminta anak akan menjadi sama seperti ortunya. Menjadi orangtua yg baik memang butuh perjuangan. Berjuang dan terus belajar untuk memperbaiki diri. Seperti apa anak kita kelak, tergantung contoh nyata ortunya.

Kamis, 22 Januari 2009

DEMAM SEPEDA RODA DUA & RUANGAN TANPA SEKAT


Anak-anak memang selalu senang bergerak, mereka pun tak bisa bermain sepanjang hari dengan satu jenis permainan. Saya suka memperhatikan Haura dan teman bermainnya, jika mereka mulai bosan dg permainan yg ada, maka mereka mulai menciptakan permainan yg baru, sampai mereka bosan lagi dan punya permainan lain yg baru lagi. Saya pikir hal tsb dapat membuat mrk kreatif. Kadangkala ada juga saatnya satu jenis permainan mendominasi selama berjam-jam lamanya, tapi tidak akan pernah bertahan lama sepanjang hari hanya dg main itu-itu saja. Mungkin pendapat saya ini tidak mewakili semua anak, karena objek pengamatan saya ya putri kecil saya itu yg masih di tahap balita.

Seperti beberapa waktu ini, hampir satu pekan, Haura dan kak Meru lagi senang2nya main sepeda roda dua. Khusus untuk Haura sebenernya roda tiga (ada 1 roda kecil bantuan, karena Haura blm pede ketika roda kecilnya dilepas). Setiap hari, mereka berdua begitu bersemangat menunggu waktu main sepeda tiba (soalnya mereka baru diizinkan main di luar rumah di waktu sore hari). Kadang peserta bertambah satu, temannya Haura, si Idham yg usianya lebih tua 8 bln dari Haura. Idham sudah jago bermain sepeda roda dua. Maka mereka bertiga akan bermain sepeda bolak-balik di jl.juragan Sinda IV sampai habis tenaga dan berpeluh keringat, berjam-jam lamanya tak terasa bagi mereka yg sedang bersemangat, sekan tenaga tak ada habis-habisnya. Dan permainan tsb pun kadang harus berakhir saat salah satu dari mereka dipanggil pulang. Usai bersepeda, kadang saya mencuci roda sepeda Haura, karena Haura juga senang bermain sepeda mininya di dalam rumah. Kebetulan rumah saya antara ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan tidak dibatasi sekat pembatas shg ruangan terasa luas, selain karena peletakan perabot rumah seperti sofa dan meja makan yang berada di pojok ruangan sehingga membuat anak2 leluasa bermain sepeda kecil, magic car dan mobil mini di dalam rumah. Tapi, polusi suaranya itu loh, haduh, kalo mrk sdg main, bising banget, tapi lama2 sih saya terbiasa, hahaha…

Pernah ada teman yang berkunjung ke rumah, dan bertanya kenapa saya tidak menyekat tiga ruang tsb agar lebih rapi, tidak blong (memang dari sofa di ruang keluarga bisa terlihat jelas seisi rumah kecuali kamar tidur ortu dan wc). Saya jawab karena saya masih punya anak kecil. Saya ingin anak2 bebas bereksplorasi dg ruangan yg luas. Dan hal tsb juga memudahkan saya yang single fighter di rumah (tanpa mbak prt), sambil beraktivitas tp tetap dapat mengawasi Haura dan teman mainnya. Saya pribadi, kurang merasa nyaman, jika Haura main di luar tanpa pengawasan. Haura masih 3.5 thn, saya masih khawatir kalo2 ada orang jahat, takut diculik atau takut Haura tertabrak motor/mobil, karena rumah kami bukan di komplek tapi di lingkungan rumah penduduk yang jalannya bebas dipakai siapa pun, apalagi motor-motor yang lewat depan rumah kami itu suka sekali ngebut, mungkin karena daerah gang kami cukup sepi dan beraspal. Maklumlah ibu-ibu suka parno alias paranoid,hehehe…

Ruangan yg blong bagi saya saat ini sangat berguna, karena saya bisa membaca atau utak-atik komputer ataupun menonton TV di ruang keluarga, bahkan sambil memasak dan mencuci piring di dapur dapat saya lakukan sambil tetap mengawasi anak2. Memang ada beberapa pekerjaan rumah yg tidak bisa dikerjakan selama anak2 sedang bermain, seperti menyetrika baju dan mengepel lantai. Itu saya kerjakan di saat Haura tidur. Untuk TV, saya cukup selektif, jika anak2 sdg asyik bermain di dalam rumah, saya hanya menonton acara yg aman utk anak2, seperti acara good morning, apa kabar Indonesia, wisata kuliner, harmoni sehat, siraman ruhani, news, dll, tdk boleh ada adegan kekerasan baik fisik maupun verbal, tidak boleh nonton sinetron apalagi gosip, karena walaupun anak tidak ikut menonton tapi dia bisa mendengar dan mencontoh ibunya. Sebisa mungkin memberi pembiasaan pada anak mana yg boleh ditonton, mana yg tidak. Alhmd, putri saya pun mengerti aturan yg saya terapkan. Bahkan jika sedang menginap di rumah nenek, dia akan spontan berkomentar jika melihat tayangan yg tidak baik, seperti saat neneknya nonton sinetron “Nek, itu gak bagus..” Hahaha…

Back to topic ruang tak bersekat, saya pikir tiap orang bisa berbeda-beda dalam mengatur rumahnya, tergantung selera, kenyamanan dan kebutuhan. Mungkin jika Haura dan adik2nya sudah besar, rumah kami bisa dibuat lebih tertata (bersekat, jelas organisasi ruangnya), karena setelah menanjak remaja, anak-anak biasanya lebih butuh space pribadi seperti kamarnya sendiri untuk diuprek-uprek sesuka mereka. Ya, flexible aja lha yaaa…

HAURA, PALESTINA DAN ORANG-ORANG KERDIL


Haura, gadis kecilku yg 4 bulan lagi genap berusia 4 tahun, sudah 2 pekan ini sedang bersemangat dg berbagai hal tentang Palestina. Jika saya sedang menonton TV-One dan ada iklan tentang Palestina, dia akan berlari mendekat dan berkata ”Palestina, kasian ya, mi…” Tentu saja dia berucap begitu karena pernah bertanya tentang Palestina.

Suatu hari menjelang tahun baru, umi dan ayah menonton acara berita di TV-One, ternyata liputan ttg pemboman Israel thdp Palestina. Kita pun jadi terlibat pembicaraan yg ternyata didengerin Haura, yg lagi curious itu. “Kenapa sih Mi, itu?” saat itu sedang ditayangkan rumah sakit di Gaza yg rusak, di ruang ICU itu terbaring seorang anak kecil, kaca-kaca jendela di atas tempat tidurnya pecah, kaca berserakan di lantai. “Kasihan ya nak, kakak itu sakit. Jendela kamarnya pecah kena bom,” kataku. “Iya, kasian ya mi…” usai berkomentar ia pun kembali ke kamarnya sibuk bermain bersama boneka-bonekanya lagi.

Di hari yang lain, dia bertanya, “Mi, Palestina itu apa?” maka saya berusaha menjawab dg sesuatu yg semoga bisa dimengerti dia, “Hmm… Palestina itu Negara. Benderanya ini (saya tunjukan bendera Palestina kebetulan sedang tayang di TV), kalo kita itu orang Indonesia, benderanya merahputih.” jawab saya yg dibalas anggukan Haura, ”Ooh…” Lalu seperti biasa Haura pun kembali sibuk dg mainannya. Memang semakin tambah usia, anak balita makin banyak bertanya, makin kritis dan ingin tahu dg keadaan sekitar.

Ketika pada suatu hari Haura ikut aksi damai solidaritas mendukung Palestina, dia begitu bersemangat. Bangun tidur langsung minta mandi, “ayo mi, kita ke Palestina.” Haduh, lucu dan polosnya, padahal di hari biasa dia paling malas disuruh mandi, hehehe… Usai acara, Haura minta dibelikan lagu (nasyid Shoutul Harakah yg menceritakan perjuangan bangsa Palestina) yang tadi dia dengar saat aksi, Haura memang senang bernyanyi. Jadi ayah mencarikan, dan setelah dapat, Haura senang sekali, setiap sore usai bermain sepeda, dia mendengarkan nasyid tsb dg keceriaan khas anak-anak, bernyanyi sambil melompat-lompat. Bahkan saat neneknya (ibuku) menelpon (Haura itu suka banget ngobrol lewat telpon dg neneknya dan mbak Fira, sepupunya yg TK), eh bukannya ngobrol, malah sepanjang telpon, dia nyanyi lagu ”Harapan itu Masih Ada”, sampai-sampai ibuku tertawa geli dan berkomentar “Haduh, cucu nenek, kecil-kecil jadi mujahidah ya…” Hahaha…

Selain semangat bernasyid, Haura juga suka bermain peran bersama kakak sepupunya, main perang2an melawan Israel. Maka merekapun bergaya bak jagoan, kepala diikat tulisan ”Save Palestine”, si kakak yg berusia 7 thn membawa senapan mainan, sedang Haura membawa bonekanya, kadang juga Haura membawa kotak peralatan dokternya. Kalo jadi dokter, Haura mengobati kak Meru jika tertembak Israel. Kalo sama2 jadi pejuang sibuk berdarderdor. Dasar anak2, ada-ada saja gaya mereka, imajinasi mereka bisa bermain sesuka hati. Saya suka tertawa geli melihat tingkahpolah mereka.

Memang tragedi kemanusiaan di Gaza Palestina membuat siapa saja yang lembut hatinya utk merasa trenyuh, sedih dan berempati. Apalagi ketika melihat bayi, anak-anak kecil serta wanita-wanita yang menjadi korban terbanyak. Dunia pun terhenyak, seakan baru tersadarkan dari sesuatu yang sebenarnya sudah lama berjalan sejak puluhan tahun yg lalu, sejak Israel merasa berhak atas Negara Palestina, sejak Zionis mengusir paksa para penduduk Palestina dg moncong senjata dan bombardir bulldozer, dan setelah sedikit demi sedikit tanah Palestina berhasil mereka rampas, Israel mendirikan pemukiman2 utk warganya, maka wajar jika Hamas ingin memperjuangkan hak mereka mempertahankan Palestina sbg Negara yg merdeka.

Sungguh ironis melihat wajah dunia saat ini. Saat power masih dipegang oleh Amerika yg merupakan sekutu Israel. Walaupun dukungan terus mengalir utk rakyat Palestina dari berbagai penjuru dunia, bahkan oleh negara2 Eropa yg mayoritas beragama nasrani. Tapi di sisi lain, negara2 Arab dan negara2 bermayoritas penduduknya islam masih terlihat setengah hati dlm mendukung kemerdekaan Palestina,belum juga menemukan kata sepakat untuk secara ril menolong saudaranya. Bahkan di Palestina sendiri, daerah tepi barat yg mayoritas pendukung Fattah, seperti ”tidak peduli” dengan penderitaan saudara2 mereka di Gaza. Sebuah ironi bahwa kepentingan politik lebih mendominasi kepedulian terhadap sesama. Tapi inilah wajah dunia.

Di Indonesia pun beragam tanggapan atas tragedi Palestina ini. Dari yang mulai bersimpati, yang tidak peduli, bahkan sampai ada yg menghujat. Yg bersimpati, mengadakan penggalangan dana, rela menyisihkan hartanya, berdoa bersama, dan yang paramedis tergerak menjadi relawan kemanusiaan. Sedang yang tidak peduli, menganggap beban hidup disini saja sudah berat, kenapa harus memikirkan Negara lain, dst. Sedang yang mencibir orang2 yang ingin membantu rakyat Palestina sebisanya, mengganggap itu hanya karena kepentingan politik, agar menang pemilu, karena riya (pamer), dst. Bagi saya pribadi, orang2 yang mencibir itu sebenarnya hanyalah orang2 yang kerdil, orang2 yang tidak bisa dan tidak mau berbuat tapi hanya bisa mencari2 kesalahan orla. Kalo kita bersikap tidak peduli, itu hak anda pribadi, begitu pula yg ingin peduli adalah haknya pribadi juga. Kita seharusnya belajar saling menghormati perbedaan. Kenapa harus menghujat orang yang ingin berbuat baik?

Dan jawabannya saya rasa tergantung pada dimana hati kita berpijak. Seperti yang dijelaskan pak Mario Teguh di acara the Golden way sesi “Heal the World”, bahwa hati manusia itu terdiri dari dua titik, titik hitam dan titik putih. Titik putih yang mengajak kepada kebaikan, hal2 optimis, berpikiran positif, dst. Yang titik hitam mengajak kepada keburukan, pesimistis, mudah berprasangka buruk, dst. Titik tsb bisa diibaratkan sebagai dua ekor anjing peliharaan, si hitam dan si putih. Yang manakah yang lebih sering diberi makan oleh kita, itulah yang mendominasi hati kita.
Ayo, kita lebih sering kasih beri makan si putih atau si hitam? Hohoho…

Rabu, 07 Januari 2009

PILIHAN MJD FREELANCER

Alhmd, November 2008, dapet kerjaan freelance, revisi en nambah gbr2 kartun utk buku AMPUH mjd cerdas tanpa batas, terbitan Elex media komputindo (kelompok penerbit gramedia), dulu pertama kali terbit bulan Juli 2002. Skrg masuk cetakan ke-6, en si bpk penulis pingin ada penambahan ataw perubahan pada gambar2 kartun di buku itu.

Awalnya sih, gak masalah. Malah seneng, kayak dapet tantangan baru. Tapi... setelah dijalanin mulai ada mslh2 kecil. yang mencuat adalah masalah perbedaan kondisi.

Kondisiku saat ini kan seorang ibu rumahan, praktis urusan rumah yg nomor satu, en ternyata jadi ibu RT itu menyenangkan bgt, terutama bisa melihat en ngedampingin my little girl di tahap golden agesnya ini bener2 karunia buatku. Hampir-hampir, saya lupa dg aktivitas di masa lalu, seperti gambar kartun itu, makanya mulai gambar lagi jadi tantangan buatku. Waktu dulu sering dapet job gambar, kondisinya saya masih single, masih kuliah, jadi gak perlu repot urusan masak, cuci, setrika, dst. Fokus utk kuliah en kelarin tugas gbr. Mo makan udah tersedia, masalah baju, ada mbak sam yg cuci en setrikain. Nah, pas skrg ini, saya sendiri yang masak, cuci ampe setrika, blom ngurusin Haura, kalo gak disuapin, gadis kecilku itu suka makan lauknya doang, nasi en sayur pasti masih utuh. Atau itu anak keasikan main, ampe lupa makan. ya begitulah... repot tapi menyenangkan.

Tapi saya udah bertekad harus bisa menyelesailkan tugas gambar ini. Inilah pilihan dan saya harus bisa menanggung segala resikonya.

Hari pertama mulai gambar, dung..dung.. semangat 45, menyiapkan meja gambar dg rapi berikut kertas putih dan peralatan gambar. Lalu mulai membaca secara cepat buku AMPUH utk membantu mengingat memori yg lama tersimpan.

Tapi... ternyata gak semudah itu...
Blom apa-apa kok rasanya buntu, baru mulai pegang pensil mo bikin sketsa,eh otak buntu,gak dapet gambaran apa yg mo mulai digambar, gak ada mood buat gbr. Maka pekerjaan tsb pun tertunda lagi.

Nah, pas lagi dateng mood-nya, si cantik haura mulai
ribut ikut-ikutan minta gambar. Kadang Haura udah anteng, eh ada lagi gangguan dari keponakan sebelah rumah. Lengkaplah sudah gangguan di pagi hari, siang hari serta sore hari yg cerah. Walhasil tidak ada satupun gambar yg bisa tertoreh di lembar kertas putihku ini. Malam hari, saat para anggota keluarga terlelap, aku pun dg manis ikut tertidur pulas, zzzz...

Maka, hari berganti hari, dan tenggat waktu sudah dekat, deadline sudah di depan mata, ya ampun, kalo kyk gini, kerjaan gak kan petrnah kelar. Suami pun sampe bosan mengingatkan, "Hayo Luy, gambar...". Tapi gak ada yg salah dg gangguan anak2, anak-anak ya tetap anak-anak, wajar mereka ingin diperhatikan, ingin diajak main, wong sehari-hari juga sama ibunya ini. Inilah pilihan, bekerja di rumah. Berarti harus mampu mengendalikan diri, mengontrol waktu. Ternyata beklerja di kantor itu lebih mudah, fokus dg pekerjaan tanpa ada gangguan berarti seperti mereka yg bekerja di rumah tanpa khadimat pula. Akhirnya daripada berkeluhkesah tanpa ada hasil nyata, saya mulai berhitung. Saya mulai menata lagi manajemen waktu saya. Dan karena waktu yg tersisa sudah terlalu mepet (tinggal 5 hari lagi), jadi saya harus bisa mengejar ketertinggalan. Bekerja di malam hari adalah jawabannya.

Sblm Haura bangun pagi, usai sholat subuh dan tilawah, kuselesaikan semua pekerjaan rumahtangga, Haura bangun, saya mandikan, menyuapi dan bermain bersama dia seperti biasa. Saat Haura tidur siang saya menyetrika baju. Lalu sore, Haura bangun, mandi, dan suami pulang kerja, Haura sama ayahnya, aku selesaikan pekerjaan rumah hari ini yang belum kelar, malamnya sambil menemani Haura bobo, dg sebelumnya bacain dia buku cerita, aku langsung cabut tidur, tidak ada acara nonton menemani suami, lalu pasang beker bangun jam 1 mlm, lgs dipake buat kelarin tugas gbr, terus begitu... Sehingga dlm waktu 5 hari, kelar sudah tugas ganbar.

Hari itu deadline pun tiba, kepala rasanya udah gak karuan, ngantuuuk... badan mulai terasa gak karuan, kayak orang mauk angin, gak nafsu makan, yg terbayang di otak cuma kasur. Malah haura terlihat ceria banget pagi itu. Alhmd, ada sms dari kak Baban, dia minta janji ketemu diundur jadi besok, alhmd... akhirnya hr itu gw en haura langsung berangkat krmh ortu, nginep! Alhmd suamiku orangnya baiiikk bgt, dia gak masalah kalo aku mo nginep krmh ortu kpn pun aku mau. Sampe disana, titip Haura en gw pun balas dendam... tidur booo... Abis udah berhari2 tidur cuma 3-4 jam tiap hari, kebayang kan ngantuknya, hehehe...

Alhmd...udah kelar gambarnya.. dg perjuangan tahan kantuk tiap malam, hehehe...

Hidup memang pilihan ya, sepatutnya setelah kita memilih kita gak boleh berkeluhkesah, tapi namanya jg manusia yg dhoif (lemah) jd ada cobaan dikit aja udah bikin festival airmata, udah nganggap hidup kita ini paling sengsara di dunia (biasa mendramatir keadaan deh). hehehe...

Dari tadi kan saya ngomong masalah susahnya jadi ibu freelancer. Tapi enaknya juga ada donk, kadang (tergantung jenis pekerjaannya), fee satu-dua minggu hampir sama dg gaji satu bulan kerja kantoran. Enak kan? nah, para ibu, ayo gunain kesempatan yg ada, jd freelancer itu enak lho... Apalagi kl ordernya lancar, hehehe...