Selasa, 30 Oktober 2007

Bahagia Menjadi Diri sendiri!



Tiap kali bertemu kawan lama, kerabat mau pun kenalan baru, seringkali keluar pertanyaan klasik ini: “Aktivitas sekarang apa?”. Jika tahu latar belakang pendidikan saya yang lulusan sarjana S1 dari FTUI, mereka akan kembali berkomentar: “Wah, sayang dong susah-susah kuliah ilmunya gak dipakai…” Saya biasanya tersenyum dan menjawab: “Ya gak lha, ilmunya kan tetap bisa diterapkan di tempat lain, gak mesti harus dipraktekin melalui karier di luar rumah.”

Saya memang memilih berkarier di rumah, menjadi full time mother atau ibu rumah tangga. Saya ingin mendampingi anak-anak saya, apalagi di saat golden ages mereka. Jadi ilmu saya tetap terpakai untuk mendidik anak. Memang ilmunya gak saklek sama persis seperti didapat di bangku kuliah, saya kuliah di jurusan arsitektur. Malah mungkin beda banget dan saya harus belajar lagi dengan banyak membaca dari buku-buku dan majalah literatur, internet, maupun melalui pergaulan dengan para ibu yang sudah berpengalaman. Tapi yang pasti, tidak ada ilmu yang mubazir. Pasti ada perbedaan antara ibu yang berpendidikan dengan yang tidak, misalnya dalam hal pola pikir dan pola asuh. Di keluarga saya, hanya saya yang ibu rumah tangga, sedangkan saudara-saudara saya lainnya menjadi wanita karir, kecuali si bungsu yang masih kuliah.

Saat saya memutuskan berhenti bekerja, itu saya lakukan dengan sadar. Sadar akan konsekuensi yang akan saya dapat, seperti pendapatan keluarga saya akan berkurang karena dengan menjadi ibu rumahan otomatis saya akan bergantung dengan pendapatan suami saja. Cukup gak cukup, harus pandai-pandai mengatur keuangan agar jangan sampai terjadi besar pasak daripada tiang, dan saya mendapatkan banyak pelajaran di sini. Dulu waktu masih kerja, seringkali saya konsumtif (suka membeli barang yang sebenernya belum perlu, cuma karena suka, bosen dengan yang lama, dst). Setelah menjadi ibu rumahan, saya belajar menata prioritas, mana yang penting dan mana kebutuhan yang bisa ditunda. Awalnya berat juga, tapi seiring dengan berjalannya waktu, alhamdulillah keadaan baik-baik saja.

Saat saya menikah dan menjalani ritme baru dengan hidup mandiri (tidak lagi tinggal bersama orangtua), saya juga mendapat banyak pelajaran. Hidup saya berubah 180 derajat, dari yang gak pernah masak, cuci-setrika, sekarang harus mulai dilakukan sendiri. Alhamdulillah, suami saya begitu pengertian, dia tidak menuntut saya harus begini-begitu, apa yang bisa dia kerjakan sendiri ia akan mengerjakan, tanpa minta dilayani saya, malah karena ia begitu toleran, saya jadi terpacu untuk belajar. Dari dia, saya belajar masak dan mencuci. Dan akhirnya setelah pernikahan saya berjalan 6 bulan dan saya belum jua menunjukkan tanda-tanda hamil, saya memutuskan resign dari tempat kerja saya. Alhamdulillah, tak berapa lama kemudian saya positif hamil.

Saya memilih menjadi ibu rumahan karena saya mau, tidak ada permintaan apalagi paksaan dari suami atau siapa pun. Karena saya membutuhkan waktu untuk belajar menjadi istri dan ibu, jadi saya memutuskan untuk memiliki lebih banyak waktu di rumah, dan itu bisa saya dapatkan dengan berhenti kerja full time. Di rumah pun, saya masih sesekali mendapat order job freelance, seperti membuat skenario cerita anak, mengedit cerita, juga membuat desain brosur, kalender, melayout buku, dll.

Setelah menjadi ibu seorang putri, sempat ada keinginan untuk kembali berkarir, tapi hati ini kok rasanya tidak tega meninggalkan putri saya yang masih dalam tahap golden age pada pengasuhan orang lain, yang belum tentu “sepaham” dengan pola asuh orangtuanya, terutama saya selaku ibunya. Juga terbayang betapa letihnya jika saya menjalani peran ganda, menjadi ibu plus wanita karir. Wah, saya bukan super mom,yang punya energi ekstra untuk menghandle semua. Saya takut yang terjadi, adalah waktu saya lebih banyak habis untuk karir sedangkan untuk keluarga tinggal sisanya. Saya takut tiba-tiba menyadari putri saya sudah besar tanpa saya lihat bagaimana ia tumbuh, betapa mengerikannya. Lagipula tubuh saya juga gampang sakit jika kelelahan.

Tulisan saya ini bukan untuk mendiskreditkan wanita karir, sama sekali tidak. Banyak juga wanita karir yang berhasil dalam karirnya dan keluarganya baik-baik saja. Tapi banyak juga wanita karir yang menyesal di kemudian hari ketika menyadari ia telah kehilangan momen-momen indah bersama buah hati. Hidup adalah pilihan, dan tiap orang berhak memilih apa yang menurutnya terbaik untuk diri dan keluarganya. Setiap orang punya pilihan dan tujuan hidup masing-masing dan kita harus menghargai pilihan tiap orang. Don’t judge the book from it’s cover!
Pun saya memilih menjadi full time mother adalah hak saya, pilihan saya, dan tentunya menjadi kebahagiaan dan kebanggaan saya. Jika saya tidak bangga, saya akan jatuh minder. Tiap bertemu kawan yang sukses dalam karirnya, pasti akan merasa down (minder). I don’t want to be like that! I’m happy being me!

Dalam kehidupan nyata yang seringkali dipotret dalam film, banyak juga terjadi ibu-ibu rumahan yang merasa putus asa dengan hidupnya yang begitu-begitu saja, seperti yang digambarkan di film drama Desperate Housewife, misalnya. Rasanya jika tidak ingat dengan tujuan kita memilih menjadi ibu rumahan, bisa-bisa kita akan ikut-ikutan putus asa seperti ibu-ibu tsb. Yang membuat hidup kita bersemangat adalah always remember our goal, dengan keikhlasan yang menyertai, pengorbanan tidak akan tersa sebagai penderitaan. Jika kita masih merasakan beban yang bertumpuk-tumpuk, mungkin kita harus memperbarui niat dan keikhlasan kita. Memang menghadapi urusan rumah tidak ada habis-habisnya, membuat kita bosan/jenuh. Saat jenuh itu datang, maka berhentilah sejenak dari aktivitas kita itu, lakukanlah refreshing untuk menyegarkan dan merelakskan pikiran yang mumet dan tubuh yang letih. Refreshing bisa didapat dengan melakukan apa yang kita sukai seperti hobi.

Saya sebenarnya seorang yang tidak bisa diam, saat di rumah selain mengerjakan aktivitas rutin, saya juga menekuni hobi saya, dan itu menjadi refreshing saya dalam menghadapi rutinitas sehari-hari yang monoton. Saya sangat suka menulis tentang kehidupan sehari-hari, kadang saya menulis di blog atau di buku diary saya. Saya juga suka mendesain, surfing internet, membaca, main games, juga sesekali jalan-jalan ke luar, ke toko buku adalah favorit saya, juga ke tempat grosiran (murah meriah dapat banyak, hehehe…).Bermain dengan anak dan keponakan-keponakan juga refreshing bagi saya (kebetulan rumah saya berdekatan dengan rumah kakak), bahkan merubah suasana rumah/kamar juga bisa menghilangkan kebosanan. Bisa juga dengan menginap di rumah ortu, sekalian melapas kangen sama masakan nyokap, hehehe... Intinya, pandai-pandailah mencari alternatif pembunuh kebosanan, yang tiap orang bisa berbeda-beda caranya.

Hidup jadi simple jika kita tidak menuntut terlalu banyak. Sibuk melihat orang lain, sehingga lupa akan anugerah yang telah diberikan Allah pada kita. Kondisi hidup setiap orang berbeda-beda, begitu juga ujian yang diberikan Allah pada kita pasti sesuai dengan kadar kemampuan kita. Syukuri apa yang kita miliki, berikan yang terbaik yang dapat kita lakukan, dan terus berusaha menggapai harapan kita dengan mengikuti aturan-Nya. Hidup akan terasa tenang saat kita bahagia dengan apa yang kita miliki. Jika kita sibuk dengan membanding-bandingkan keadaan kita dengan orang lain yang dari segi ekonomi lebih baik misalnya, rasanya hidup kita sengsara terus, tidak akan merasa cukup. Selalu merasa kurang terus, karena terbiasa melihat ke atas. Kenapa gak enjoy aja dengan apa yang ada, dengan apa yang kita miliki, gak memaksakan diri di luar batas kemampuan, gak suka mengeluh pada suami yang hanya membuat kepalanya pening. Rizki yang diberikan Allah tidak hanya dalam bentuk materi, tapi juga kesehatan, pernikahan yang bahagia, anak yang sholeh, dst. Kalo sudah hidup berkecukupan tapi sakit-sakitan kan gak enak, juga jika rumah tangganya cekcok melulu, sekaya apa pun gak kan tenang hidupnya. Maunya sih, hidup berkecukupan, rumah tangga baik-baik saja, tubuh sehat, anak-anaknya lucu, pinter, sholeh, pokoknya segala keinginan terpenuhi. Tapi namanya hidup gak mungkin mulus-mulus aja, pasti ada ujiannya. Yang kelihatan sempurna secara kasat mata, pasti ada jua kekurangannya. Seperti seorang artis yang berkata ingin memiliki suami seganteng nabi Yusuf, sekaya dan sesukses nabi Sulaiman dan sehebat kepribadian Rasulullah Muhammad, waks… perfect banget, apa iya ada orang yang memenuhi seluruh kriteria tsb? Kalopun ada pasti yang mau juga banyak kan? Ukur juga diri kita, apa gak kayak punuk merindukan bulan, hehehe… Berusaha memang harus, tapi kalo maksain, ya enggak lha yaaa…

Hehehe, jadi ngomong ngalor ngidul, gpp ya sembari refreshing mumpung my little girl masih bobo, semalam dia ikutan bangun sahur, jadi udah siang gini blom juga bangun, enak deh ibunya jadi bisa menyalurkan aspirasi menulis, hohoho…

Udah dulu ah…ngantuuuk…